Senin, 05 Desember 2016

Hadits tentang Metode Dakwah




HADITS TENTANG METODE DAKWAH

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hadits Tematik MD
Dosen Pengampu : Bapak Agus Syamsul Huda






Disusun Oleh :

Anisa Rochmiana                    (1501036015)
Khusnul Khotimah                  (1501036016)




FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016

 

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dakwah merupakan tugas suci yang dibebankan kepada setiap muslim dimana saja ia berada, sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an dan as-sunnah Rasulullah SAW, kewajiban menyerukan dakwah, dan menyampaikan agama Islam kepada masyarakat. Dakwah bertujuan untuk memancing dan mengharapkan potensi fitri manusia agar eksistensi mereka mempunyai makna di hadapan Allah dan sejarah.
Agar dakwah dapat mencapai sasaran, maka tentunya diperlukan suatu sistem komunikasi yang baik dalam penyusunan perkataan maupun perbuatan dalam banyak hal sangat relevan dan terkait dengan nilai-nilai keislaman. Untuk mencapai tujuan da’i agar tepat sasaran, maka para da’i harus mempunyai pemahaman yang mendalam, bukan saja menganggap bahwa dakwah dalam konteks “amar ma’ruf nahi munkar” dan sekedar menyampaikan saja. Melainkan harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya mencari materi yang cocok, mengetahui psikologis objek dakwah secara tepat, memilih metode representative, menggunakan bahasa yang bijaksana dan sebagainya.
Untuk mengetahui apa saja metode yang digunakan seorang da’i, apa saja bentuk-bentuk metode dan sumbernya, dan bagaimana pengaplikasian metode dakwah pada masa Rasulullah SAW, pemakalah akan memaparkannya dengan tujuan kita sebagai calon seorang da’i harus mengetahui metode dakwah agar dakwah yang kita sampaikan dapat mencapai sasaran.
B.  Rumusan Masalah
1.    Apa arti metode dakwah?
2.    Apa saja bentuk-bentuk metode dakwah?
3.    Apa sumber metode dakwah?
4.    Bagaimana aplikasi metode dakwah Rasulullah?




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Arti Metode Dakwah
Dari segi bahasa metode berasal dari dua kata yaitu “meta” (melalui) dan “hodos” (jalan, cara). Dengan demikian dapat diartikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata metodhos artinya jalan, yang dalam bahasa Arab disebut thariq. Metode berarti cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai suatu maksud.
Sedangkan arti dakwah menurut pandangan beberapa pakar atau ilmuwan adalah sebagai berikut:
1.    Pendapat Baikhal Khauli, dakwah adalah satu proses menghidupkan peraturan-peraturan Islam dengan maksud memindahkan umat dari satu keadaan kepada keadaan lain.
2.    Pendapat Syekh Ali Mahfudz, dakwah adalah mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan jelek agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pendapat ini juga selaras dengan pendapat al-Ghazali bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah inti gerakan dakwah dan penggerak dalm dinamika masyarakat Islam.
Dari pendapat di atas dapat di ambil pengertian bahwa, metode dakwah adalah  cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang da’i (komunikator) kepada mad’u untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang. Hal ini mengandung arti bahwa pendekatan dakwah harus bertumpu pada suatu padangan human oriented menempatkan penghargaan yang mulia atas diri manusia.[1]
B.  Bentuk-bentuk Metode Dakwah
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ



          Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dijalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (an-Nahl: 125)
          Dari ayat tersebut dapat diambil pemahaman bahwa metode dakwah itu meliputi tiga cakupan, yaitu:
1.        Al-Hikmah
a.      Pengertian al-hikmah
M. Abduh berpendapat bahwa, Hikmah adalah mengetahui rahasia dan faedah di dalam tiap-tiap hal. Orang yang memiliki hikmah disebut al-hakim yaitu orang yang memiliki pengetahuan yang paling utama dari segala sesuatu.
Sebagai metode dakwah, al-hikmah diartikan bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, dan menarik perhatian orang kepada agama atau Tuhan.
Ibnu Qoyim berpendapat bahwa pengertian hikmah yang paling tepat adalah seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan Malik yang mendefinisikan bahwa hikmah adalah pengetahuan tentang kebenaran dan pengalamannya. Hal ini tidak bisa dicapai kecuali dengan memahami al-Qur’an, dan mendalami syariat-syariat Islam secara hakikat iman.
Al-hikmah adalah kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u. al-hikmah merupakan kemampuan da’I dalam menjelaskan doktrin-doktrin Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh karena tu, al-hikmah sebagai sebuah system yang menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam berdakwah.
b.      Hikmah dalam Dakwah
         Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hikmah dalam dunia dakwah mempunyai posisi yang sangat penting, yaitu dapat menentukan sukses tidaknya dakwah. Dalam menghadapi mad’u yang beragam tingkat pendidikan, strata social, dan latar belakang budaya, para da’i memerlukan hikmah, sehingga ajaran Islam mampu memasuki ruang hati para mad’u yang tepat. Oleh karena itu, para da’i dituntut untuk mampu mengerti dan memahami sekaligus memanfaatkan latar belakangnya, sehingga ide-ide yang di terima dirasakan sebagai sesuatu yang menyentuh dan menyejukkan kalbunya.
         Pada suatu saat boleh jadi diamnya da’i menjadi efektif dan berbicara membawa bencana, tetapi di saat lain terjadi sebaliknya, diam malah mendatangkan bahaya besar dan berbicara mendatangkan hasil yang gemilang. Kemampuan da’i menempatkan dirinya, kapan harus berbicara dan kapan harus memilih diam, juga termasuk bagian dari hikmah dalam dakwah.
         Da’i tidak boleh hanya sekedar menyampaikan ajaran agama tanpa mengamalkannya. Seharusnya da’ilah orang pertama yang mengamalkan apa yang diucapkannya. Kemampuan da’i untuk menjadi contoh nyata umatnya dalam bertindak adalah yang seharusnya tidak boleh ditinggalkan oleh seorang da’i. Dengan amalan nyata yang langsung dilihat oleh masyarakatnya, para da’i tidak terlalu sulit untuk harus berbicara banyak, tetapi gerak dia adalah dakwah yang jauh lebih efektif dari sekedar berbicara.
         Dalam konteks dakwah, hikmah bukan hanya sebuah pendekatan satu metode, akan tetapi beberapa pendekatan yang multi dalam sebuah metode. Dalam dunia dakwah: Hikmah bukan hanya berarti “Mengenal strata mad’u akan tetapi juga “bila harus bicara, bila harus diam”. Hikmah bukan hanya mencari titik temu akan tetapi juga toleran yang tanpa kehilangan shigah. Bukan hanya dalam konteks memilih kata yang tepat, akan tetapi juga cara berpisah, dan akhirnya pula bahwa, hikmah adalah “Uswatun Hasanah” serta “Lisan al-Haal”.
2.      Al-Mau’idza Al-Hasanah
Terminology mau’izhah hasanah dalam prespektif dakwah sangat popular, bahkan dalam acara-acara seremonial keagamaan (dakwah atau tabligh) seperti Maulid Nabi dan Isra’ Mi’raj, istilah mau’izhah hasanah mendapat porsi khusus dengan sebutan “acara yang ditunggu-tunggu” yang merupakan inti acara dan biasanya menjadi salah satu keberhasilan sebuah acara.
Secara bahasa, mau’izhah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mau’izhah dan hasanah. Kata mau’izhah berasal dari kata wa’adza yai’idzu-wa’dzan- ‘idzatan yang berarti: nasehat, bimbingan, pendidikan dan peringatan, sementara hasanah merupakan kebalikan dari sayyi’ah yang artinya kebaikan lawannya kejelekan.
Adapun penegertian secara istilah, ada beberapa pendapat antara lain:
1.      Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi yang dikutip oleh H. Hasanuddin adalah sebagai berikut:
“al-Mau’izhah al-Hasanah” adalah perkataan-perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasehat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan al-Qur’an.
2.      Menurut Abd. Hamid al-Bilali al-Mau’izhah al-Hasanah merupakan salah satu manhaj (metode) dalam berdakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik-baik.
Mau’izhah hasanah dapatlah diartikan sebagai ungkapan mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif (wasiat) yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.
Dari beberapa definisi, mau’izhah hasanah tersebut, mau’izhah hasanah dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk:
a.       Nasihat atau petuah
b.      Bimbingan, pengajaran (pendidikan)
c.       Kisah-kisah
d.      Kabar gembira dan peringatan (al-Basyir dan al-Nadzir)
e.       Wasiat (pesan-pesan positif)
3.    Al-Mujadalah Bi-Al-Lati Hiya Ahsan
Dari segi etimologi (bahasa) lafadz mujalah terambil dari kata “jadala” yang bermakna memintal, memililit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang mengikuti wazan faaala, “jaa dala” dapat bermakna berdebt, dan “mujadalah” perdebatan.
Kata “jadala” dapat bermakna menarik tall dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawannya denganmenguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.
Menurut Ali al-Jarisyah, dalam kitabnya Adab al- Hiwar wa almunnadzarah, mengartikan bahwa “al-jidal” secara bahasa dapat bermakna pula “Datang untuk memlih kebenaran” dan apabila bentuk isim “al-jadlu” maka berarti “pertentangan atau perseteruan yang tajam”. Al-Jarisyah menambahkan bahwa, lafadzh “al-jadlu” musytaq dari lafazh “al-Qottlu” yang berarti sama-sama terjadi pertentangan, sperti halnya terjadinya perseteruan antara dua orang yang saling bertentangan sehingga saling antara dua orang yang saling bertentangan sehingga saling melawan/ menyerang dan salah satu menjadi kalah.
Dari segi istilah (terminology) terdapat beberapa pengertian al-Mujadalah (al-Hiwar). Al-Mujadalah (al-Hiwar) berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharauskan lahirnya permusuhan di antara keduanya. Sedangkan menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi ialah, suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat.
Berbantahan dengan baik yaitu dengan jalan yang sebaik-baiknya dalam bermujadalah, antara lain dengan perkataan yang  lunak, lemah lembut, tidak dengan ucapan yang kasar atau dengan mempergubakan sesuatu (perkataan) yang bisa menayadarkan hati, membangunkan jiwa dan memerangi akal pikiran, ini merupakan penolakan bagi orang yang enggan melakukan perdebatan dalam agama.
Dari pengertian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa, al-Mujadalah merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengn lainnya saling menghargai dan menghornati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut.[2]
Selain dari tiga metode dakwah tersebut diatas, juga terdapat metode dakwah yang didasarkan pada hadits Nabi:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ.
( وراه صحيح مسلم)
Terjemah :  Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah iman” (HR. Muslim)


Dari hadits tersebut terdapat tiga metode yaitu:
a.       Metode dengan tangan (bilyadi), tangan disini bisa dipahami secara tekstual terkait dengan bentuk kemungkaran yang dihadapi tetapi tangan juga bisa dipahami dengan kekuasaan (power), dan metode dengan kekuasaan sangat efektif bila dilakukan oleh penguasa yang berjiwa dakwah.
b.      Metode dakwah dengan lisan (billisan), maksudya dengan kata-kata yang lemah lembut yang dapat dipahami oleh mad’u, bukan dengan kata-kata yang keras dan menyakitkan hati.
Hadits tentang bilhal dan billisan:
  مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِي أُمَّةٍ قَبْليِ إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّوْنَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوْفٌ يَقُوْلُوْنَ ماَ لاَ يَفْعَلُوْنَ وَيَفْعَلُوْنَ ماَ لاَ يُؤْمَرُوْنَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذلِكَ مِنَ الإِيْمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلَ
(رواه مسلم من باب الإيمان).
Terjemah :                
Tidaklah seorang nabi yang diutus Allah dari umat sebelumku, kecuali dari umatnya terdapat orang-orang hawariyun (para pembela dan pengikut) yang melaksanakan sunnahnya serta melaksanakan perintah-perintahnya. Kemudian, datang generasi setelah mereka; mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mereka mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Oleh karena itu, siapa yang berjihad terhadap mereka dengan tangannya, maka ia adalah orang mukmin, siapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya, maka ia adalah orang mukmin. Dan siapa yang berjihad melawan mereka dengan hatinya, maka ia adalah orang mukmin. sedangkan di bawah itu semua tidak ada keimanan meskipun hanya sebesar biji sawi” (H. R. Muslim).[3]
c.       Metode dakwah dengan hati (bilqolb), yang dimaksud dengan metode dakwah dengan hati adalah dalam berdakwah hati tetap ikhlas, dan tetap mencintai mad’u dengan tulus, apabila suatu saat mad’u menolak pesan dakah yang disampaikan, mencemooh, mengejek, bahkan memusui dan membenci da’I, maka hati da’I tetap sabar, tidak boleh membalas dengan kebencian tetapi sebaliknya tetap mencintai mad’u, dan dengan hati yang ikhlas da’i hendaknya mendoakan mad’u agar mendapat hidayah dari Allah.[4]
C.  Sumber Metode Dakwah
1.      Al-Qur’an
    Al-Qur’an di dalamnya banyak membahas ayat mengenai dakwah. Di antara ayat-ayat tersebut ada yang berhubungan denagn kisah para rasul dalam menghadapi umatnya. Selain itu, ada ayat-ayat yang ditujukan kepad Nabi Muhammad ketika beliau melancarkan dakwahnya. Semua ayat-ayat tersebut menunjukkan metode yang harus di fahami dan dipelajari oleh setiap muslim. Karena Allah tidak akan menceritakan melinkan agar dijadikam suri tauladan dan  dapat membantu dalam rangka menjalankan dakwah berdasarkan metode-metode yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ ۚ وَجَاءَكَ فِي هَٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan semua kisah-kisah dari rasul-rasul yang kami ceritakan kepadamu ialah kisah-kisah yang dengannya dapat kamu teguhkan hatimu, dan dalam surat ini datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Hud: 120)
2.      Sunnah Rasul
Sunnah rasul banyak kita temui di dalam hadits-hadits yang berkaitan dengan dakwah. Begitu juga dalam sejarah hidup dan perjuangannya dan cara-cara beliau pakai dalam menyiarkan dakwahnya baik ketika beliau berjuang di Makkah maupun di Madinah. Semua ini memberikan contoh dalam metode dakwahnya. Karena setidaknya kondisi yang dihadapi Rasululah ketika itu dialami juga oleh juru dakwah sekarang ini.
3.      Sejarah Hidup Para Sahabat dan Fuqaha
Dalam sejarah hidup para sahabat-sahabat besar dan para fuqaha cukuplah memberikan contoh baik yang sangat berguna bagi juru dakwah. Karena mereka adalah orang-orang yang expert dalam bidang agama. Muadz bin Jabal dan para sahabat lainnya merupakan figure yang patut di contoh sebagai kerangka acuan dalam mengembangkan misi dakwah.

4.      Pengalaman
Experience is the best teacher, itu adalah motto yang punya pengaruh besar bagi orang-orang yang suka bergaul dengan orang banyak. Pengalaman juru dakwah merupakan hasil pergaulannya dengan orang banyak yang kadangkala dijadikan reference ketika berdakwah.
Setelah kita mengetahui sumber-sumber metode dakwah sudah sepantasnya kita menjadikannya sebagai pedoman dalam melaksanakan aktivitas dakwah yang harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang sedang terjadi.[5]
5.      Aplikasi Metode Dakwah Rasulullah
Ketiga metode dakwah tersebut diaplikasikan oleh Rasulullah dalam berbagai pendekatan, diantaranya yaitu:
1.      Pendekatan Personal
Pendekatan dengan cara ini terjadi dengan cara individual yaitu antara da’i dan mad’u langsung bertatap muka sehingga materi yang disampaikan langsung diterima dan biasanya reaksi yang ditimbulkan oleh mad’u akan langsung diketahui. Pendekatan dakwah seperti ini pernah dilakukan  pada zaman Rasulullah ketika berdakwah secara rahasia. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan di zaman era modern seperti sekarang ini pendekatan personal harus tetap dilakukan karena mad’u terdiri dari berbagai karakteristik.
2.      Pendekatan Pendidikan
Pada masa Nabi, dakwah lewat pendidikan dilakukan beriringan dengan masuknya Islam kepada para kalangan sahabat. Begitu juga pada masa sekarang ini, kita dapat melihat pendekatan pendidikan teraplikasi dalam lembaga-lembaga pendidikan pesantren, yayasan yang bercorak Islam ataupun perguruan tinggi yang didalamnya terdapat materi-materi keislaman.
3.      Pendekatan Diskusi
Pendekatan diskusi pada era sekarang sering dilakukan lewat berbagai doskusi keagamaan, da’i berperan sebagai narasumber, sedangkan mad’u berperan sebagai audience. Tujuan dari diskusi ini adalah membahas dan menemukan pemecahan problematika yang ada kaitannya dengan dakwah sehingga apa yang menjadi permasalahan dapat ditemukan jalan keluarnya.
4.      Pendekatan Penawaran
Salah satu falsafah pendekatan penawaran yang dilakukan Nabi adalah ajakan untuk beriman kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Cara ini dilakukan Nabi dengan memakai metode yang tepat tanpa paksaan sehingga mad’u ketika meresponinya tidak dalam keadaan tertekan bahkan ia melakukannya dengan niat yang timbul dari hati yang paling dalam. Cara ini pun harus dilakukan oleh da’i dalam mengajak mad’unya.
5.      Pendekatan Misi
Maksud dari pendekatan misi pengiriman tenaga para da’i ke daerah-daerah di luar tempat domisili.
Kita bisa mencermati untuk masa sekarang ini banyak organisasi yang bergerak di bidang dakwah mengirimkan da’i mereka untuk disebarluaskan ke daerah-daerah yang minim para da’i –da’inya, dan di samping itu daerah yang menjadi tujuan adalah biasanya kurang memahami ajaran-ajaran Islam yang prinsipil.[6]




BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Metode dakwah merupakan cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang da’i (komunikator) kepada mad’u untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang. Hal ini mengandung arti bahwa pendekatan dakwah harus bertumpu pada suatu padangan human oriented menempatkan penghargaan yang mulia atas diri manusia.
Bentuk-bentuk metode dakwah meliputi tiga aspek, yang pertama adalah metode dengan al-Hikmah yaitu kemampuan dan ketepatan da’i memilih, memilah dan menyelaraskan dakwah dengan kondisi objektif mad’u. Kedua, dengan metode al-Mau’izhah Al-Hasanah yaitu tidak membeberkan kesalahan orang lain, memakai sikap lemah lembut dalam menasehati. Ketiga, Al-Mujadalah Bi-al-Lati Hiya Ahsan yaitu tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak tanpa melahirkan sebuah permusuhan.
Sumber-sumber metode dakwah berasal dari Al-Qur’an, Sunnah Rasul, sejarah hidup para sahabat dan fuqaha, dan berdasarkan dari sebuah pengalaman.
Ketiga metode dakwah tersebut diaplikasikan oleh Rasulullah dalam berbagai pendekatan, diantaranya yaitu pendekatan personal, pendekatan melalui pendidikan, pendekatan dengan cara diskusi, penndekatan penawaran, dan pendekatan misi.
B.  Saran
Demikian pemaparan hadits tematik tentang metode dalam berdakwah. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penyusun mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah yang kami susun dapat bermanfaat bagi kita semua.








DAFTAR PUSTAKA

Munir, Muhammad.Metode Dakwah.2006.Jakarta: Prenada Media.
Munir, Metode Dakwah.2009.Jakarta:Kencana.
http://follyakbar.blogspot.co.id/2012/07/hadits-hadits-dakwah.html Diakses pada tgl 10 Oktober 2016 pukul 14:01 WIB.






[1] Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2009) , hlm. 7.

[2] Munir, Metode Dakwah, hlm. 8-19.
[4] M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, Cet ke II, 2006), hlm.19
[5] Munir, Metode Dakwah, hlm. 19-21.
[6] Munir, Metode Dakwah, hlm. 21-23.

1 komentar:

  1. Bismillaah...
    Izin menjadikan makalah ini salah satu sumber referensi ya mbak... untuk tugas kuliah.jazakillaah.

    BalasHapus